
“Saya bersumpah, akan saya bakar setiap anak yang dilahirkan di daerah ini. Perempuan dan anak-anak Palestina lebih berbahaya dibandingkan para pria dewasa, sebab keberadaan anak-anak Palestina menunjukkan bahwa generasi itu akan berlanjut. ... Saya bersumpah, jika saya sebagai seorang Israel bertemu dengan seorang Palestina, maka saya akan bakar dia. Dan saya akan membuatnya menderita sebelum membunuhnya.” [Ariel Sharon, 1956]
Global Research | Sahabat Al-Aqsha
Bicara tentang kekejaman Sharon dalam sejarah Zionis Israel, tidak akan lepas dari peristiwa pembantaian warga Palestina di pengungsian Sabra-Shatilla dan invasi pasukan Israel ke Beirut, Libanon, pada 1982 saat Sharon menjabat menteri pertahanan.
Senin, 16 September 2013 menandai peringatan tahun ke-31 pembantaian Sabra dan Shatila yang berlangsung 16 September 1982.
Ketika itu, tentara ‘Israel’ yang dipimpin Menteri Pertahanan ‘Israel’, Ariel Sharon, mengepung Sabra dan Shatila lalu membiarkan para milisi Kristen Maronit Libanon yang dipimpin Kaum Falangis membantai pengungsi di dalamnya.
Pembantaian tersebut berlangsung selama tiga hari (16-18 September 1982). Sekitar 3.500-8.000 orang, termasuk anak-anak, bayi, wanita, dan orangtua dibantai dan dibunuh secara mengerikan.
Tentara ‘Israel’ yang dipimpin oleh Ariel Sharon dan kepala stafnya, Rafael Etan, memastikan pasukan mereka mengepung kamp pengungsi lalu mengizinkan Kaum Falangis menyerang dan membunuh ribuan pengungsi yang tidak bersalah.
Sabra adalah sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, Libanon, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina) Shatila yang dibangun untuk para pengungsi Palestina pada 1949.
Selama bertahun-tahun penduduk dari kedua wilayah ini menjadi semakin bercampur, sehingga biasa disebut “Kamp Sabra-Shatila”.
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menggunakan Libanon selatan sebagai pangkalan penyerangan mereka atas ‘Israel’, sehingga tentara ‘Israel’ mengklaim bahwa pembantaian itu untuk mencari 1.500 personil PLO yang menurut mereka berada di kamp Sabra-Shatila.
Padahal sesungguhnya kelompok PLO sedang berada di tempat lain, skenario pencarian anggota PLO hanyalah karangan ‘Israel’. Kelompok PLO sedang melawan serangan ‘Israel’ di area lain, sehingga sebagian besar yang berada di kamp pengungsian saat pembantaian terjadi adalah perempuan tua dan anak-anak.
Setelah pembantaian tersebut, Mahkamah Agung ‘Israel’ membentuk Komisi Cahan untuk menyelidiki kejahatan terhadap ribuan pengungsi tersebut.
Pada tahun 1983, Komisi Cahan mengumumkan hasil “penyelidikan” pembantaian tersebut dan memutuskan bahwa Sharon “tidak langsung bertanggung jawab”.
Maka Sharon pun melanjutkan karir politiknya, menjadi Perdana Menteri ‘Israel’ dan memegang berbagai posisi penting sampai ia menderita stroke pada 4 Januari 2006 lalu berada dalam keadaan koma sejak saat itu.
Kecongkakan Sharon
Congkak dan Kejam Kecongkakan Sharon dan kebenciannya terhadap orang Arab dan Palestina sudah mendarah-daging dalam dirinya sejak dulu.
Dalam urusan pemukiman Yahudi, Sharon yang pernah menjabat sebagai Menteri Perumahan dan Pembangunan Israel tahun 1990-1992 dan Menteri Infrastruktur Nasional Israel tahun 1996-1999, tidak mengenal kata ilegal dalam kamusnya.
Semua pemukiman Yahudi yang dibangun, termasuk dengan cara merampas tanah milik warga Palestina, adalah sah.
"Setiap orang harus bergerak, lari dan ambillah sebanyak mungkin puncak bukit sebisanya, untuk memperluas pemukiman (Yahudi). Sebab, semua yang kita bisa ambil akan tetap menjadi milik kita... Apa saja yang tidak bisa kita ambil, akan jatuh ke tangan mereka," [Ariel Sharon, 15 Nopember 1998]
Dalam wawancaranya dengan Jenderal Ouze Merham pada 1956, Sharon memekikkan suaranya;
"Saya tidak tahu ada yang namanya prinsip-prinsip internasional. Saya bersumpah, akan saya bakar setiap anak yang dilahirkan di daerah ini.
Perempuan dan anak-anak Palestina lebih berbahaya dibandingkan para pria dewasa, sebab keberadaan anak-anak Palestina menunjukkan bahwa generasi itu akan berlanjut. ...
Saya bersumpah, jika saya sebagai seorang Israel bertemu dengan seorang Palestina, maka saya akan bakar dia. Dan saya akan membuatnya menderita sebelum membunuhnya. Dengan satu pukulan saya pernah membunuh 750 orang Palestina (di Rafah tahun 1956).
Saya ingin menyemangati prajurit saya agar memperkosa gadis-gadis Arab, karena perempuan Palestina adalah budak untuk Yahudi dan kami dapat berbuat apa saja yang kami inginkan kepadanya. Tidak ada yang boleh menyuruh kami apa yang harus kami lakukan, justru kami yang memerintah mereka apa yang harus mereka lakukan."
Pembantaian Sabra-Shatilla terjadi pada September 1982, hanya beberapa hari setelah para pejuang Palestina menyerahkan senjata mereka dibawah perjanjian damai internasional. Mereka kemudian dideportasi dari Beirut, meninggalkan keluarganya pada pasukan perdamaian internasional. Zionis melanggar janji, Pasukan Israel kemudian menyerbu Beirut.
Tidak kurang dari 3.000 wanita dan anak-anak yang tidak berdaya dikumpulkan di kamp pengungsian Sabra-Shatilla. Kemudian secara sistematis mereka dibantai begitu saja.

Pendudukan Beirut oleh pasukan Zionis berlangsung selama 70 hari. Lebih dari 30.000 orang kehilangan nyawanya. Pasukan Zionis menyerang secara membabi-buta. Makanan, air dan listrik seketika lenyap seketika.
Dr. Ang Swee Chai, seorang perempuan warga China Kristen, yang dibesarkan dengan nilai-nilai anti-Islam dan Arab, serta mendukung penuh Yahudi dan Israel, bercerita cukup lengkap tentang kekejaman Israel di Sabra-Shatilla dalam bukunya "From Beirut to Jerussalem".

Pembantaian Sabra-Shatilla terjadi pada September 1982, hanya beberapa hari setelah para pejuang Palestina menyerahkan senjata mereka dibawah perjanjian damai internasional. Mereka kemudian dideportasi dari Beirut, meninggalkan keluarganya ke perlindungan pasukan perdamaian internasional. Pasukan Israel kemudian menginvasi Beirut.
Berdasarkan perhitungan tentara Israel IDF, mereka menggunakan tidak kurang dari 960 ton amunisi untuk menghancurkan kota Beirut. Dalam serangan ke Libanon tersebut, untuk pertama kalinya Israel menguji cobakan senjata baru, yaitu bom fosfor dan bom vakum.
Jika seseorang terkena bom fosfor maka tubuhnya akan terbakar selama beberapa hari. Apabila tubuhnya disiram air, maka pembakarannya akan bertambah parah dan berlangsung lebih lama.

Bom vakum tidak kalah mengerikan. Bom itu terbuat dari TNT yang berkekuatan besar. Jika dijatuhkan ke sebuah gedung, maka bangunan itu akan tersedot ke bawah, rontok menjadi puing. Ang Swee Chai melihat sebuah bangunan 11 lantai mengubur hidup-hidup sekitar 200 orang di Beirut.
Pembantaian Sabra-Shatila bukanlah yang pertama atau terakhir dilakukan tentara ‘Israel’. Pasukan Zionis melakukan banyak pembantaian terhadap rakyat Palestina di tempat-tempat berbeda, di antaranya Jalur Gaza, Deir Yassin, Qibya, Tantour, Jenin, Al-Quds, Hebron, dan lainnya.
Hingga kini tidak pernah ada satu pun komandan atau tentara ‘Israel’ yang secara resmi bertanggung jawab atas kejahatan dan pembantaian terhadap rakyat Palestina.
No comments:
Post a Comment